Jumat, 05 Mei 2017

Filosofi Wakaf

Syari’at Islam secara garis besar meliputi dua aspek, yakni:
1) ajaran-ajaran yang murni merupakan hubungan antara manusia dengan Allah, yang disebut ibadah, seperti shalat dan puasa,

(2) ajaran-ajaran yang murni merupakan hubungan antar sesama manusia (hubungan sosial), yang disebut mu’amalah (dalam arti luas), seperti hukum-hukum tentang perdagangan, keuangan, perbuatan kriminal dan sebagainya. Di samping itu, terdapat juga ajaran yang merupakan ibadah berdimensi sosial, yakni zakat dan wakaf.

Dalam fiqh klasik pembagian ini terdiri atas: ‘ibâdât, munâkahât, mu’âmalât, dan jinâyât. Namun pada masa kini, istilah munâkahât sering disebut sebagai al-ahwâl al-syakhshiyyah (hukum perorangan), yang meliputi perkawinan, kewarisan, dan zakat-wakaf.

Ajaran-ajaran atau hukum-hukum tersebut pada umumnya mengandung filosofi atau hikmah yang rasional (ma’qûl al-ma’nâ atau ta’aqqulî). Hanya sedikit sekali ajaran yang bersifat supra rasional (ghair ma’qûl al-ma’nâ), hanya semata-mata sebagai penghambaan manusia kepada Allah (ta’anbudî), yakni hanya ajaran yang merupakan ibadah mahdhah (murni).

Sebagai ibadah yang berdimensi sosial, wakaf mempunyai filosofi dan hikmah yang sangat rasional bermanfaat bagi kehidupan umat. Manfaat ini sudah terbukti dalam sejarah umat Islam, sejak awal sampai kini.

Hal tersebut memang sangat tergantung kepada kemampuan umat sendiri untuk mengaktualisasikan filosofi dan hikmah wakaf dalam kehidupan umat. Kini manfaat atau hikmah ini belum diwujudkan secara optimal, yang disebabkan beberapa faktor, baik bersifat internal maupun eksternal.

Tetapi faktor internallah yang lebih menentukan potensi wakaf itu belum aktualisasikan sepenuhnya dalam kehidupan umat, misalnya kurangnya perhatian terhadap potensi wakaf, dan terbatasnya kemampuan para pengelola (nazhir) wakaf untuk mendayagunakan secara efektif dan produktif.

Jika ditelisik, wakaf (endowment) secara umum sebenarnya sudah ada sebelum masa Nabi Muhammad saw. Pada masa Fir’aun di Mesir, misalny, masyarakat telah mengenal praktik wakaf dalam kehidupan sehari-hari. Bentuknya berupa tanah pertanian, yang diwakafkan oleh penguasa atau orang-orang kaya dan dimanfaatkan untuk bercocok tanam.

Lalu hasilnya digunakan untuk berbagai kepentingan umum. Ensiklopedia Grolyier International menyebutkan, praktik wakaf seperti itu juga telah dikenal oleh masyarakat Yunani dan Romawi. Kedua negara tersebut juga telah mempraktekkan jenis filantropi ini untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan perpustakaan yang dapat diakses oleh masyarakat umum.

Kini beberapa universitas besar di negera-negara Barat, terutama Amerika Serikat, juga menjadikan wakaf (endowment) untuk pembiayan pendidikan, riset (penelitian), sarana dan prasarana pendidikan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Karena besarnya manfaat wakaf ini, maka wakaf tidak cukup hanya dipahami sebatas aturan atau hukumnya saja, tetapi juga filosofi dan hikmahnya, sehingga pengumpulan harta wakaf dan pendayagunaannya bisa dilakukan seoptimal mungkin.(wakafproduktif.org)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar