Selasa, 05 Desember 2017

Sejarah Pengelolaan Zakat Nasional

SEJAK kedatangan Islam di Nusantara pada awal abad ke 7 M, kesadaran masyarakat Islam terhadap zakat pada waktu itu ternyata masih menganggap zakat tidak sepenting Shalat dan Puasa.

Padahal walaupun tidak menjadi aktivitas prioritas, kolonialis Belanda menganggap bahwa seluruh ajaran Islam termasuk zakat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Belanda kesulitan menjajah Indonesia, khususnya di Aceh sebagai pintu masuk.

Atas hal tersebut, Pemerintah Belanda melalui kebijakannya Bijblad Nomor 1892 tahun 1866 dan Bijblad 6200 tahun 1905 melarang petugas keagamaan, pegawai pemerintah dari kepala desa sampai bupati, termasuk priayi pribumi ikut serta dalam pengumpulan zakat.

Peraturan tersebut mengakibatkan penduduk di beberapa tempat enggan mengeluarkan zakat atau tidak memberikannya kepada penghulu dan naib sebagai amil resmi waktu itu, melainkan kepada ahli agama yang dihormati, yaitu Kiyai atau guru mengaji.

Pada saat yang sama masyarakat Aceh sendiri telah menggunakan sebagian dana zakat untuk membiayai perang dengan Belanda, sebagaimana Belanda membiayai perangnya dengan sebagian dana pajak.

Sebagai gambaran, pengumpulan zakat di Aceh sudah dimulai pada masa Kerajaan-Kerajaan Aceh, yakni pada masa Sultan Alaudin Riayat Syah (1539-1567).

Pada Masa Kerajaan Aceh, penghimpunan zakat masih sangat sederhana dan hanya dihimpun pada waktu Ramadhan saja, yaitu Zakat Fitrah dan langsung diserahkan ke Meunasah (tempat ibadah seperti Masjid).

Pada waktu itu sudah didirikan Balai Baitul Maal tetapi tidak dijelaskan fungsi spesifik dalam mengelola zakat melainkan sebagai lembaga yang mengurus keuangan dan perbendaharaan negara yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja.

Ketika terdapat tradisi zakat dikelola secara individual oleh Umat Islam, K.H. Ahmad Dahlan sebagai Pemimpin Muhammadiyah mengambil langkah mengorganisir pengumpulan zakat di kalangan anggotanya.

Menjelang kemerdekaan, praktek pengelolaan zakat juga pernah dilakukan oleh Umat Islam ketika Majlis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) pada tahun 1943 membentuk Baitul Maal untuk mengorganisasikan pengelolaan zakat secara terkoordinasi.

Badan ini dikepalai oleh ketua MIAI sendiri, Windoamiseno dengan anggota komite yang berjumlah 5 orang, yaitu Mr. Kasman Singodimedjo, S.M. Kartosuwirjo, Moh. Safei, K. Taufiqurrachman dan Anwar Tjokroaminoto.

Dalam waktu singkat, Baitul Maal telah berhasil didirikan di 35 kabupaten dari 67 kabupaten yang ada di Jawa pada saat itu. Tetapi kemajuan ini menyebabkan Jepang khawatir akan munculnya gerakan anti Jepang. Maka pada 24 Oktober 1943, Jepang memaksa MIAI untuk membubarkan diri.

Praktis sejak sat itu tidak ditemukan lagi lembaga pengelola zakat yang eksis.

Perhatian pemerintah terhadap pengelolaan zakat ditunjukkan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 4 tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Maal di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kotamadya.

Keputusan tersebut dikuatkan oleh pernyataan Presiden Soeharto dalam acara Peringatan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW di Istana Negara 26 Oktober 1968 tentang kesediaan Presiden untuk mengurus pengumpulan zakat secara besar-besaran.

(Sumber : pekanbaru.tribunnews.com/2017/09/21/sejarah-pengelolaan-zakat-nasional) Penulis, H Yurnal Edward SE M.Si, Ak. CA, Ketua Baznas Provinsi Riau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar